Sampai Sejauh Mana AI Memengaruhi Hidup Kita?


 

Foto-foto yang menampilkan si orang terkaya sejagat, Elon Musk saat sedang berciuman dengan robot humanoid sempat bikin heboh netizen belum lama ini. Tentu saja, itu bukan foto nyata. Foto-foto itu “hanyalah” hasil rekayasa AI (artificial intelligence).

Tapi bukankah kita hidup di dunia yang apapun bisa saja terjadi. Sebelum pesawat terbang ditemukan oleh Wright bersaudara, orang-orang yang bermimpi untuk bisa terbang seperti burung mungkin bakal dianggap sinting.

 

Lalu, dulu yaa.. di zaman kerajaan-kerajaan nusantara masih berjaya, komunikasi jarak jauh mungkin aja dilakukan. Tapi itu cuma dimonopoli sama dukun atau orang-orang sakti yang punya kemampuan telepati. Sekarang?

 

Sejak ENIAC (Electronic Numerical Integrator Computer) atau komputer generasi pertama dibikin tahun 1946, kehidupan manusia mengalami banyak “lompatan”

 

ENIAC, ketika pertama kali dibuat, memiliki ukuran sekitar 160 meter persegi dengan berat 30 ton. Setara ama berat 10 ekor gajah. Kala itu, ENIAC digunakan untuk kepentingan militer; penghitungan untuk membuat bom, hingga memprediksi cuaca. Terbilang canggih untuk masanya.

 

Nah, seiring berjalannya waktu, komputer jadi semakin canggih. Dan tentu saja, ukurannya semakin ringkas. Ilmuwan zaman sekarang bahkan sudah berhasil membuat komputer yang ukurannya gak lebih besar dari butiran garam. Serius!

 

Soal fungsi, komputer membuat hal-hal yang dulunya mustahil, cuma ada di film-film fiksi, menjadi hal yang sangat akrab di kehidupan kita.

 

Mimin Poli jadi inget pas 90an ada sebuah mobil canggih bernama Kitt. Mobil itu gak hanya superkencang, tapi juga bisa ngomong, dan jalan sendiri.

 

Buat yang belum tahu, Kitt adalah mobil canggih di film serial Knight Rider. Waktu itu sih, kebanyakan orang akan menganggap bahwa gak mungkinlah ada mobil kayak Kitt di dunia nyata. Tapi sebagian lainnya, terutama ilmuwan, percaya bahwa teknologi Kitt bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

 

Ya, bener aja sih. Sekarang ini udah banyak mobil-mobil yang dilengkapi fitur self driving. Baik itu yang sekadar “benerin” posisi setir, sampai yang bener-bener gak butuh yang namanya sopir.

 

Di San Francisco sudah ada perusahaan yang menyediakan layanan taksi tanpa sopir. Ya, mobilnya bener-bener bisa jalan sendiri, tanpa ada manusia yang nyopirin. Agak-agak ganjil memang, tapi ya kenyataannya demikian.

Mobil tanpa sopir, atau mobil otonom memang belum bener-bener sempurna. Masih banyak keraguan terhadap mobil otonom. Pun demikian, masih ada beberapa insiden yang terjadi gara-gara kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence) pada mobil melakukan kesalahan dalam “membaca” jalan, atau objek-objek di jalurnya.

 

Tapi, trial and error dalam dunia teknologi itu adalah hal biasa. Apalagi pada AI yang boleh dibilang mirip dengan cara kerja otak manusia. AI gimana pun butuh proses belajar. Baik itu lewat data-data yang di-input oleh si empunya, atau juga lewat cara mereka sendiri.

 

Teknologi AI di zaman sekarang memang gak bisa dikatakan sempurna. Tapi, apa yang mereka tunjukkan pada dunia, itu udah luar biasa.

 

AI sudah masuk ke berbagai sendi kehidupan manusia. Termasuk di dunia hukum.

 

Beberapa negara telah mengadopsi AI dalam sistem peradilan mereka. Misalnya di Hangzhou, China yang sejak 2019 menggunakan AI bernama Xiao Zhi 3.0 sebagai asisten hakim.

 

Awalnya, Xiao Zhi diperintah untuk melakukan pekerjaan berulang. Misalnya mengumumkan prosedur persidangan. Tapi kemudian, “tanggungjawab” pekerjaannya ditambah.

 

Xiao Zhi digunakan untuk merekam kesaksian selama sidang, menganalisanya, kemudian membuat keputusan. Hasilnya, keputusan yang dibuat Xiao Zhi dinilai akurat dan jauh lebih cepat dibandingkan manusia.

 

Banyak yang percaya bahwa Hakim Robot atau Hakim AI bisa mengambil keputusan yang adil, minim bias, dan gak bisa disogok kanan-kiri..

 

Kayaknya, ini yang paling dibutuhkan di negeri ini ya? Hahaha.

 

Cuma, di mata pihak yang kontra, Hakim AI dianggap tidak memiliki empati sebaik manusia. Benarkah?

 

AI memang gak memiliki emosi. Tapi, AI memiliki kemampuan untuk membaca emosi, menerjemahkan emosi tersebut, kemudian memutuskan cara terbaik untuk meresponsnya.

 

Baru-baru ini, peneliti dari University of California “mengadu” dokter manusia dengan ChatGPT. Mereka mendapatkan pertanyaan-pertanyaan medis, juga melihat bagaimana cara mereka berinteraksi dengan pasien.

 

Hasilnya, ChatGPT memiliki kualitas empati yang lebih baik ketimbang dokter manusia.

 

Jadi, sekali lagi, robot atau AI mungkin tidak memiliki emosi seperti manusia. Tapi, dengan pemrograman sedemikian rupa, mereka bisa menjadi sesuatu yang “terlihat” sangat manusiawi.

 

Palsu? Mungkin bisa disebut demikian.

 

Tapi, bukankah kita manusia-manusia ini banyak juga yang palsu. Hehe.

 

Jadi, kesimpulan dari tulisan ngalor ngidul ini apa?

 

Kesimpulannya adalah pertanyaan: Apakah robot/komputer/AI itu adalah ancaman bagi umat manusia? Karena udah banyak pekerjaan yang akhirnya diambil alih sama mesin-mesin itu.

 

Dulu, orang berpikir kalo pekerjaan yang diambil alih sama robot itu mungkin sebatas yang kasar-kasar. Tapi sekarang, dokter, hakim, sampai seniman juga bisa diganti sama robot.

 

Cuma, yang namanya teknologi itu susah buat kita lawan.

 

Hmm..daripada capek-capek ngelawan.. mending pacaran.

 

 

 

 

 

 

Sampai Sejauh Mana AI Memengaruhi Hidup Kita?

log in

Captcha!

reset password

Back to
log in
Choose A Format
Meme
Upload your own images to make custom memes