Pemilu Coblos Caleg Memang Ribet, Tapi..


Ketika kita berbicara tentang sebuah sistem, atau membandingkan antara satu sistem dengan sistem yang lainnya, pastilah ada sisi baik dan sisi buruknya. Begitupun dengan sistem proporsional terbuka vs sistem proporsional tertutup pada pemilu legislatif.

Belakangan ini, terjadi perdebatan sengit antara pendukung kedua sistem yang saat ini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi. Perdebatan itu jadi makin panas setelah mantan Wamenkumham Denny Indrayana mengaku dapat bocoran soal putusan MK. Kata dia, MK bakal mengembalikan pemilu ke sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup atau kita sebut saja coblos partai berlaku sebelum Pemilu 2009. Jadi, pemilu di zaman Orde Lama dan Orde Baru menggunakan sistem ini.

Kelebihan sistem coblos partai ini adalah “lebih ringkas”. Soalnya pemilih hanya mencoblos tanda gambar partainya. Nantinya, partai-partai peraih suara yang memenuhi electoral threshold akan menentukan siapa kadernya yang berhak untuk mendapatkan kursi di DPR.

Sistem coblos partai bikin surat suaranya lebih ringkas. Karena hanya memuat gambar partai.

Sistem ini juga memudahkan petugas untuk melakukan penghitungan. Sebab, mereka hanya perlu menghitung suara partai saja. Ketika ada masalah sekalipun dan penghitungan harus diulang, juga gak akan memakan waktu terlalu banyak.

Beda sama sistem proporsional terbuka atau coblos caleg. Pemilih mesti berhadapan dengan surat suara yang lebarnya udah kayak koran era 90an. Surat suaranya, disamping memuat tanda gambar partai juga daftar caleg dari tiap-tiap partai.

Pemilu 2024 bakal diikuti 18 partai (belum termasuk partai lokal Aceh nih ya..). Tiap partai, rata-rata mencantumkan tujuh nama calegnya. Jadi, itu surat suara udah kayak iklan barisnya koran.

Masih mending buat pemilih yang dari rumah udah menyiapkan-menentukan nama caleg yang bakal dicoblos. Tapi gimana yang gak ada persiapan sama sekali? Itu nyoblosnya mau asal aja, atau pake merem sambil komat-kamit?

Dan keribetan itu berlanjut pada tahap penghitungan suara. Petugas harus menghitung satu persatu perolehan suara dari masing-masing caleg.

Bayangkan saja, untuk satu pemilihan legislatif DPR RI saja, setidaknya ada 126 caleg yang perolehan suaranya harus dihitung. Itu belum lagi menghitung suara untuk DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, DPD, dst. Belum lagi kalau ada masalah dan harus mengulang penghitungan dari awal.

Karena keribetan-keribetan itulah, gak heran kalau sistem coblos caleg ini menghabiskan anggaran yang besar. Membuat biaya pemilu naik signifikan dari waktu ke waktu.

Pada 2004 atau pemilu terakhir dengan sistem coblos partai, biaya penyelenggaraannya sekitar Rp 4,5 triliun. Tapi, pada 2009, ketika sistem coblos caleg pertama kali diterapkan, biaya pemilunya naik menjadi Rp 8,5 triliun.

Tahun 2024? Pertengahan tahun lalu, DPR bersama pemerintah dan KPU telah menyepakati anggaran untuk Pemilu 2024. Nilainya Rp 76,6 triliun.

Itu biaya dari sisi penyelenggaraan. Gimana dengan biaya yang dikeluarkan masing-masing caleg?

Sistem coblos caleg memicu persaingan antar caleg. Dan biaya untuk memenangkan persaingan itu gak sedikit.

Seorang caleg DPR RI pernah mengungkapkan bahwa biaya yang dia keluarkan untuk Pemilu 2014 mencapai Rp 6 miliar. Dia merinci, anggaran itu dipakai untuk mencetak 210 ribu kaos+topi+stiker+kartu nama. Juga untuk menggaji 150 orang anggota tim sukses, mobil operasional dan beberapa unit ambulans.

Rp 6 miliar itu terbilang pengeluaran yang “normal”, digunakan untuk hal-hal yang “normal” juga. Tapi gimana dengan caleg yang memainkan strategi “money politics”?

Ah, jadi inget omongan seorang petinggi partai yang menyebut bahwa untuk menjadi anggota DPR, caleg bisa menghabiskan Rp 100 miliar.

Itu jelas angka yang besar. Apalagi kalau duitnya itu bukan duit dia sendiri. Tapi duit “ngutang” ke investor politik.

Namanya juga utang, maka ada kewajiban untuk mengembalikan? Dalam bentuk uang juga? Bisa jadi. Tapi kebanyakan sih, kembali dalam bentuk “kemudahan” untuk mendapatkan/menjalankan proyek.

 

**

 

Jadi, apakah coblos caleg itu lebih buruk dari coblos partai? Atau coblos partai itu lebih baik dari coblos caleg?

 

Ya, enggak bisa dibilang yang satu lebih baik dari yang lain sih ya. Coblos partai mungkin membuat segala sesuatunya lebih ringkas, biaya lebih murah, dll. Tapi, sistem itu membuat kita menyerahkan hidup “sepenuhnya” kepada partai politik.

Sementara coblos caleg memang membuat kita jadi punya pilihan lebih beragam dan terbuka soal siapa caleg yang ikut kontestasi politik. Tapi, apakah, caleg yang maju itu sesuai dengan kebutuhan atau memang pantas untuk kita pilih? Ya belum tentu juga sih ya.

Toh dengan sistem terbuka ini, kita masih melihat caleg-caleg korup dengan pedenya masih ikut pemilu, atau caleg yang enggak jelas asal usulnya.

 

Sebenarnya, bukan soal sistem A atau sistem B. Tapi ini lebih ke gimana kita harus benerin partai politiknya.

 

Kalau partai politiknya bener, kredibel, mampu menjalankan kaderisasi dengan baik, gak KKN, mau sistem terbuka atau tertutup, peluang kita bisa melihat Senayan yang lebih baik akan jadi lebih besar.

 

Atau gimana kalo partai politiknya kita ganti sama ChatGPT aja. Yang katanya gak punya tendensi apa-apa.

 

 

 

Pemilu Coblos Caleg Memang Ribet, Tapi..

log in

Captcha!

reset password

Back to
log in
Choose A Format
Meme
Upload your own images to make custom memes