Darurat Kekerasan Seksual


hawa napsu
hawa napsu

POLIKLITIK – Sama beratnya dengan korupsi, upaya untuk memberantas kekerasan seksual pun menjadi sebuah hal yang sulit dilakukan di negeri ini. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, menimpa siapa saja, dan sayangnya-sama seperti kasus korupsi-seringkali tidak ditangani dengan baik.

Belakangan ini, kita mungkin dibuat gerah, jengkel dengan apa yang terjadi di sebuah kampus di Palembang. Yakni ketika ada seorang mahasiswi yang melaporkan dugaan pelecehan seksual oleh dosen berinisial R.

Alih-alih mendapatkan perlindungan dari pihak kampus, mahasiswi tersebut malah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Dia sempat dicoret dari yudisium. Bahkan, sempat disekap di toilet sebelum acara yudisium.

Sementara itu, di Mojokerto, Jawa Timur peristiwa bunuh diri yang dilakukan seorang mahasiswi di samping makam ayahnya, membuka serangkaian fakta memilukan. Mahasiswi berinisial NW itu pernah menjadi korban dugaan pelecehan oleh kakak tingkatnya di kampus. Dia juga diketahui pernah dipaksa pacarnya, seorang oknum polisi berinisal RB untuk melakukan aborsi dua kali.

Kasus ini mendapatkan atensi luas dari masyarakat. Sampai Kapolri pun ikut ‘turun tangan’.

Terbaru, RB ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, dia terancam dipecat secara tidak hormat.

Tapi, di luar dua kasus itu, masih banyak kasus kekerasan seksual lain yang luput dari perhatian. Kekerasan seksual, sama seperti kasus korupsi adalah fenomena gunung es.

Upaya untuk-setidaknya-meminimalisir kasus kekerasan seksual sudah coba dilakukan Mendikbud  Nadiem Makarim. Di antaranya melalui Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Di  mana salah satu poinnya adalah memberi perlindungan kepada korban kekerasan seksual di kampus.

Permendikbud itu juga ‘memaksa’ pihak kampus untuk lebih cekatan ketika menerima laporan soal dugaan kekerasan seksual.

#AdminPoli

 

Darurat Kekerasan Seksual

log in

Captcha!

reset password

Back to
log in